Teruntuk Kekasihku, Ayah

Sulit jika harus memulainya. Sebab tulisan ini tertuju pada seseorang yang telah tiada. Namun inshaa Allah, tulisan ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya.

Entah bagaimana melukiskan rasa sayang seorang anak kepada ayahanda tercinta. Berjuta bahkan tak terhingga permintaan maaf dan ucapan terima kasih atas segala-galanya yang banyak beliau korbankan untuk putri sulungnya ini.

Sekitar tiga bulan yang lalu.
Dua minggu menjelang wisuda, ayah memelukku erat seraya berkata, "Ayah sepertinya tidak bisa menghadiri wisudamu, nak." 
Deg! Hatiku rasanya remuk. Marah, sedih, kesal bercampur saat itu. Aku memeluk ayah erat dan berkata pelan menenangkan ayah, "Iya yah, gak apa-apa. Disana kan cuma mindahin tali doang. Ayah kan lagi sakit, jadi gak perlu susah untuk kesana. Nanti juga ayah bisa liat mimi pulang kerumah pakek toga." 
Ayah menangis haru. Tak biasanya ia menangis seperti itu. Akupun tak kuasa menahan tangis melihat ayahku seperti itu.

Beberapa hari setelah itu.. tangisanku pun menderas. Karena atas kehendak Allah, perkataan ayah saat itu benar dan perkataanku pun tak bisa kutepati.

****************************
Ayah, engkau adalah sosok teguh bagi kami. Empati yang kau ajarkan kepada anak-anakmu begitu mengena. Sikap tolerir terhadap sesama, disiplin dan tepat waktu, keinginan yang harus goal-oriented, kemandirian, tidak boleh mengeluh, memahami kondisi orang lain, telah banyak mengajarkan kami, sebagai anak-anakmu. Walaupun aku adalah anak manja, keras kepala, mudah marah, dan banyak sekali sikap-sikap bodoh yang mungkin sering membuat ayah sedih. Karakter ayah yang otoriter seringkali membuatku tidak nyaman, meski sebenarnya ada sisi kepedulian dan rasa sayang yang tidak pernah aku sadari.


Ayah, tanpa sisi melankolis ayah, mungkin aku tidak akan terdidik sebagai anak yang terpacu untuk rajin dan mampu berprestasi. Bahkan aku masih ingat, sedari aku menginjak sekolah dasar, semua buku paket dan buku tulisku, ayah beri sampul plastik tebal dengan lipatan rapih. 

Ayah, tanpa sisi koleris ayah, mungkin aku tidak sekuat dan setegar seperti saat ini. Ayah selalu mengajarakan bagaimana menjadi sosok yang tegas dan mandiri, meskipun aku seorang anak perempuan. Dulu sewaktu kecil, mungkin saat itu aku masih berumur 3 atau 4 tahun. Aku masih ingat, ayah sering mengajakku jalan-jalan di sekitar perumahan, ayah juga rutin mengajakku menikmati sudut kota yang indah, mengajarkanku banyak hal diumurku yang masih sangat muda. Aku juga masih ingat jelas ketika aku bermasalah dengan temanku, ayah malah memarahi dan menasihatiku. Ayah bilang, "Ingat nak, mereka boleh bersikap buruk ke kamu tapi kamu harus tetap bersikap baik ke mereka." Bahkan di minggu terakhir ayah pun ayah mengulang perkataannya tersebut kepadaku guna mengingatkanku.

Ayah, seiring berjalannya waktu, aku akan terus belajar bagaimana menempatkan diri sebagai sosok yang kuat dan bijaksana, mampu memahami diri serta orang lain. Terimakasih telah mengajariku bagaimana mencintai buku dan menyukai menulis. Aku ingat, demi anaknya, sedari kecil ayah berlangganan majalah untukku. Ayah juga membelikanku kaset berseri-seri yang isinya tentang pembelajaran bahasa inggris. Terimakasih juga telah mewarisi ilmu komputermu kepadaku. Melaluimu aku menemukan minat & bakatku, yah. Minat yang sama-sama kita sukai. 

Masa kecilku bahagia kok yah, terimakasih telah memberiku banyak larangan saat bermain. Aku menyadari bahwa larangan-larangan itu membuatku belajar untuk memanage diri disaat umurku beranjak dewasa. 

Ayah, terimakasih sudah menjagaku selama ini. Terimakasih telah banyak membuka pandanganku tentang apapun. Tentang hidup yang pasang surut. Tentang bagaimana hidup sekedarnya, tidak boros, juga tidak pelit. Ayah juga mengajarkan bagaimana kesederhanaan itu. Aku tak perlu khawatir dengan cukup atau kurangnya materi, karena Allah-lah sebaik-baik Pemberi Kecukupan. 

Ayah, sungguh, rasanya masih belum ingin melepaskan ayah. Tapi aku takut Pemilikmu dan Pemilikku murka kepadaku. Bukannya aku harus bersyukur karena Allah telah meminjamkanmu kepadaku untuk 21 tahun ini? 

Ayah, kau akan tetap menjadi sebaik-baik lelaki yang pernah kutemui di dunia.
Dari anakmu yang cengeng, humoris sekaligus pemarah.
*****************************************

Sebagai penutup tulisan ini, berikut adalah sebuah hadist shahih mengenai amalan seorang anak untuk orang tua yang telah tiada.

Dari Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah. Orang ini bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara bagiku untuk berbakti kepada orang tuaku setelah mereka meninggal?’ Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَعَمْ، الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا، وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِيفَاءٌ بِعُهُودِهِمَا مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا
“Ya, menshalatkan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, memenuhi janji mereka setelah mereka meninggal, memuliakan rekan mereka, dan menyambung silaturahmi yang terjalin karena sebab keberadaan mereka.” (HR. Ahmad 16059, Abu Daud 5142, Ibn Majah 3664, dishahihkan oleh al-Hakim 7260 dan disetujui adz-Dzahabi).

0 Response to "Teruntuk Kekasihku, Ayah"

Post a Comment